Showing posts with label Cut Meutia. Show all posts
Showing posts with label Cut Meutia. Show all posts

Wednesday, February 1, 2017

Biografi Lengkap Cut Meutia - Pahlawan Nasional dari Aceh

Biografi Cut Meutia - Pahlawan Nasional dari Aceh


Cut Meutia, juga disebut Cut Nyak Meutia adalah puteri Bin Dawud, Ulebalang di Perak, negeri Aceh. Ia lahir dalam tahun 1870, yaitu 3 tahun sebelum perang Aceh meletus. Tidak banyak, bahkan hampir tidak ada cerita tentang masa kanak-kanaknya, kecuali ia terkenal sebagai seorang wanita yang cantik, kulitnya putih bersih, tubuhnya tinggi semampai. Waktu menjelang dewasa ia dipertunangkan dengan Teuku Syam Sareh, seorang dari 3 anak angkat Cut Nyak Aisah.

Biografi Lengkap Cut Meutia - Pahlawan Nasional dari Aceh
Cut Meutia - Pahlawan Nasional dari Aceh
Cut Nyak Aisah adalah isteri Teuku Muhammad Alibasyah, Ulebalang Perak, daerah Keureutoe. Ulebalang itu meninggal dunia dengan tidak meninggalkan seorang anak pun. Isteri yang ditinggalkannya, yaitu Cut Nyak Aisah, lalu mengasuh 3 orang kemanakannya yang diambilnya menjadi anak pungut. Mereka bertiga ialah:

1. Teuku Adit;
2. Teuku Syam Sareh yang kemu-dian bergelar Teuku Cik Bintara; dan
3. Teuku Cut Muhammad yang kemudian bergelar Teuku Cik Tunong. 

Cut Nyak Aisah menghendaki agar kemudian salah seorang dari 3 kemenakannya itu dapat mewarisi kedudukan Ulebalang di Keureutoe.

Daerah Keureutoe semula dipimpin oleh Ulebalang Teuku Cik Mulieng Abdul Majid. Pada tanggal 7 April 1874 Ulebalang Keureutoe itu menyatakan tunduk kepada Belanda dan menanda-tangani perjanjian pendek. Kedudukan sebagai Ulebalang Keureutoe kemudian digantikan oleh Teuku Muhammad Alibasyah, suami Cut Nyak Aisah tersebut. Setelah Teuku Muhammad Alibasyah meninggal, kedudukannya diganti oleh isterinya, Cut Nyak Aisah. Dari 3 orang anak angkatnya tersebut yang kemudian menggantikan kedudukan sebagai Ulebalang Keureutoe adalah anak yang kedua, yaitu Teuku Syam Sareh bergelar Teuku Cik Bintara. Seperti Ulebalang sebelumnya,Teuku Cik Bintara ini pun terikat oleh perjanjian dengan Belanda, bahkan Belandalah yang mengangkat dia menjadi Ulebalang Keureutoe.

Perjanjian pendek dengan Belanda itu memuat 3 pasal utama, ialah:
1. Mengakui kedaulatan Belanda atas daerahnya;
2. Mengakui  bahwa  musuh  Belanda  adalah  musuhnya;  dan
3. Tidak mengadakan perjanjian dengan negara lain. 

Maka 3 pasal perjanjian itu jelas mengandung arti, bahwa daerah dan Ulebalang Keureutoe diharuskan melepaskan diri dari segala ikatan dengan negeri dan Sultan Aceh.

Sewaktu kanak-kanak, Teuku Syam Sareh (Cik Bintara) tersebut dipertunangkan dengan Cut Meutia. Pertunangan ini ditetapkan oleh orang tua kedua belah fihak tanpa sepengetahuan yang bersangkutan. Meskipun kemudian mereka itu dikawinkan, namun Cut Meutia tidak mau menjalankan kewajibannya sebagai seorang isteri. Oleh karenanya mereka lalu bercerai. Kemudian Cut Meutia kawin dengan adik Syah Sareh, yaitu Teuku Cut Muhammad yang kemudian bergelar Teuku Cik Tunong. Suami isteri ini dalam hidupnya bersatu dengan perjuangan rakyat Aceh yang disebut rakyat muslimin untuk menentang penjajahan Belan-da.

Teuku Cut Muhammad, suami Cut Meutia, kecuali tidak terikat oleh perjanjian pendek dengan Belanda yang ditan-datangani oleh kakaknya, ia merasa lebih tertarik oleh perjuangan rakyat muslimin menentang Belanda. Ia mengumpulkan sebanyak 12 orang teman-temannya yang gagah berani, tampan dan tungkas yang dibawanya menghadap Sultan Aceh. Tempat tinggal Cut Muhammad itu di daerah pedalaman Keureutoe yang belum di-jamah oleh Belanda. Belanda hanya ada di kota Lhoseumawe. Ia dengan kawan-kawannya berjuang di pihak muslimin. Isterinya, Cut Meutia, selalu mendampingi dalam perjuangannya. Hingga menjelang tahun 1899 perjuangan pasukan Cut Muhammad itu amat menonjol dengan keberaniannya yang telah membuat Belan-da kerepotan, tetapi kemudian hampir 2 tahun lamanya dari tahun 1899 sampai 1901 pasukan Cut Muhammad tidak banyak tampil di medan perjuangan. Belanda mengira bahwa mereka akan menyerah, tetapi tahu-tahu, masih di dalam tahun 1901, Cut Muhammad dan pasukannya giat kembali mengubrak-abrik pasukan Belanda.

Sultan Aceh dengan pengiringnya, setelah meninggalkan istananya pada akhir tahun 1873 karena serbuan Belanda, mengungsi ke Pasei, namun tidak selalu menetap di sana. Ia berkunjung ke daerah-daerah di sekitar Pasei untuk menggerak-kan rakyat dalam perjuangan melawan Belanda. Ia pun mengutus wakilnya menghubungi para Ulebalang dan mengundangnya ber-musyawarah. Para Ulebalang diharapkan memberi bantuan untuk perjuangan berupa harta, makanan dan alat-alat senjata.

Waktu itu Ulebalang di Keureutoe masih Cut Nyak Aisah yang terkenal memiliki kekayaan yang cukup besar. Di dalam musyawarah yang diadakan oleh Sultan, Cut Nyak Aisah tidak hadir dan tidak pula mengirimkan wakilnya, mungkin karena dia sudah terikat perjanjian dengan Belanda. Waktu utusan Sultan datang pada Cut Nyak Aisah, utusan itu dipersilakan meng-hubungi pembantu Cut Nyak Aisah di bidang keuangan, yaitu Syahbandar Krueng Baru. Pertemuan utusan Sultan dengan Syahbandar itu tidak menghasilkan sesuatu bantuan apa pun, karena Syahbandar Krueng Baru sedang asyik berjudi. Sebenar-nya hal itu sama sekali bukan kesalahan Cut Nyak Aisah, namun Sultan menganggap, bahwa Cut Nyak Aisah tidak mau memban-tunya, bahkan memusuhinya. Oleh karenanya dalam tahun 1901 diperintahkanlah Panglima Perang Aceh, Muda Pahlawan, menyerbu kampung J rat Manyang, tempat kediaman Cut Nyak Aisah di daerah Keureutoe.

Dalam penyerbuan itu berhasil diketemukan emas, intan berlian, barang-barang berharga, tembakau berpeti-peti, buah pinang yang sudah digiling dan diharumkan. Semua itu adalah persediaan akan bekal Cut Nyak Aisah hendak menunaikan ibadah haji ke Mekah. Sebagian besar dari harta itu diambil oleh pasukan Muda Pahlawan dan sebagian tertinggal berserakan di lantai. Oleh karena serbuan yang ganas itu, maka niat Cut Nyak Aisah menunaikan ibadah haji tak dapat dilaksanakan.

Pada waktu rumah kediamannya diserbu tentara Sultan, Cut Nyak Aisah sedang di Malieng untuk mengadakan kenduri sehubungan dengan akan keberangkatannya ke tanah suci, sedan e

Teuku Muhammad datang terlambat di Jrat Manyang dan tidak dapat berbuat sesuatu apa pun. Pada waktu Muda Pahlawan dengan pasukannya masih di Jrat Manyang, pasukan Belanda sudah segera datang dan menyerbunya. Pertempuran terjadi. Muda Pahlawan terjebak karena tak tahu adanya pintu rahasia dalam rumah Nyak Aisah itu untuk lolos dari kepungan musuh. Pemimpin pasukan Belanda Letnan Kok terbunuh dalam pertem-puran itu.

Sejak akhir tahun 1901 Cut Muhammad dan 12 orang teman-nya kembali berjuang dengan gigih. Mereka melakukan sabotase di mana-mana, di malam hari membongkar rel kereta api yang dibuat Belanda untuk mengangkut pasukannya. Kawat telpon dipotong-potongnya dan lain-lain pengrusakan yang amat merugikan Belanda. Pembalasan Belanda di daerah yang terjadi sabotase itu amat kejam sekali. Rakyat disiksa dan dijadikan um-pan peluru dengan semena-mena. Sultan Aceh meninggalkan daerah itu, namun sama sekali tidak menjadikan perjuangan Cut Muhammad menjadi kendur. Ia mempersatukan para Ulebalang di daerah Keureutoe yang tidak terikat pada perjanjian dengan Belanda, terutama di daerah selatan.

Sultan mengangkat Cut Muhammad menjadi Ulebalang Keu-reutoe. Maksudnya untuk Keureutoe seluruhnya, meskipun yang bagian utara dengan Ulebalangnya Cik Bintara telah tunduk kepada Belanda. Di kalangan rakyat Cut Muhammad lebih dikenal sebagai Cik Tunong, artinya Cik (Ulebalang) bagian selatan. Dan Cik Bintara dipanggil Cik Baroh (utara).

Semangat Cik Tunong tidak pernah padam. Dalam tahun 1901 hingga 1903 ia memimpin pertempuran di Aceh Utara bagian timur. Pasukannya menyerang dan menghadang Belanda dan berhasil merebut senjatanya. Mata-mata musuh ditindak keras seperti halnya Pang Gadeng dan Mubin yang tertangkap basah. Dua orang mata-mata musuh itu minta hidup. Mereka diberi am-pun, tetapi harus menebusnya dengan 100 pucuk senjata dan beberapa puluh orang dari pasukan Belanda. Maka terjadilah suatu peristiwa yang khas. Pada esok malamnya 2 orang mata-mata musuh itu memancing pasukan Belanda untuk menyerbu ke Paya Ciciem dengan menumpang 2 buah perahu yang disiapkan oleh mata-mata itu. Dua perahu itu oleh Pang Gadeng dan Mubin diberi lubang-lubang yang ditutupnya. Malam itu juga pasukan Cik Tunong siap di tepi pantai dengan rencong dan pedang terhunus. Setelah dekat pantai lubang-lubang di perahu itu dibuka oleh Pang Gadeng dan Mubin. Air masuk ke dalam perahu. Pasukan Belanda kalangkabut dan terjun ke dalam air. Waktu hendak naik ke pantai pasukan Belanda itu disambut oleh rakyat muslimin dengan tusukan rencong dan ayunan pedang. Tebusan nyawa 2 orang mata-mata Belanda itu menghasilkan 67 pucuk sen-jata dan beberapa puluh orang dari pasukan Belanda, kecuali seorang saja yang selamat karena sempat memanjat pohon kayu. Mubin tewas pada malam itu, sedang Pang Gadeng dihabisi nyawanya oleh tipu muslihat Belanda.

Kegigihan dan kegiatan perjuangan Cik Tunong dengan pasukannya menyebabkan pasukan Sultan tidak harus banyak berjuang lagi di daerah Pasei. Maka berangkatlah Sultan dan pasukannya ke daerah Pidie. Keberangkatan Sultan dari Pasei tidak mempengaruhi semangat juang Cik Tunong. Sementara itu perjuangan muslimin tampak mulai kendor di berbagai sektor. Demikian pula pasukan Cik Tunong tidak selalu mengalami kemenangan, karena Belanda memperkuat pasukannya dengan bantuan yang datang mengalir berupa pasukan marsose yang bergerak cepat dan bertindak tegas serta ganas.

Kemunduran perjuangan muslimin terasa sekali setelah terbetik berita, bahwa di antara para ulama telah ada yang diam-diam turun kembali ke desa dan mendirikan pesantren. Panglima Polim, Tuanku Raja Keumala dan pemuka Kesultanan lain-lainnya menyerah. Kemudian pada tanggal 9 Januari 1903 Sultan Aceh menyerah di Ie Leubene Pidie. Pada tanggal 13 Januari 1903 ia berangkat ke Banda Aceh, kemudian pada tanggal 20 Januari 1903 Sultan bersama puteranya Tuanku Ibrahim diterima oleh gupernur sipil dan militer J.B. van Heutsz.

Bagaimanakah sikap Cik Tunong selanjutnya? Ia diangkat oleh Sultan, padahal Sultan sekarang sudah menyerah. Oleh karenanya ia pun bersepakat dengan isterinya, Cut Meutia yang selalu mendampinginya dalam perjuangan bersenjata, dan pasukannya terutama kawan-kawannya yang 12 orang, untuk turun dari hutan dan kembali ke desanya. Mereka bersiap-siap un-tuk menempuh hidup baru. Cik Tunong dan segenap pengikutnya turun ke Lhoseumawe, tempat yang ada penguasa Belanda untuk melapor dan menyerah. Cik Tunong menyerah pada tanggal 5 Oktober 1903, yaitu 9 bulan kemudian dari pada Sultan menyerah.

Cik Tunong lalu kembali ke Jrat Manyang, tempat kediaman Cut Nyak Aisah, ibu angkatnya. Ia pulang bersama isteri dan se-orang puteranya yang bernama Teuku Raja Sabi. Setelah bebe-rapa lama di Jrat Manyang dan bersatu dengan Cut Nyak Aisah dan saudaranya, yaitu Teuku Cik Bintara (Syam Sareh) Ulebalang Keureutoe yang sudah lebih dahulu bekerjasama dengan Belanda, maka Cik Tunong merasa tidak serasi dan bermaksud memilih tempat yang baru. Maksud itu dicegah oleh Cik Bintara, karena suasananya masih gawat. Dengan berdiam di Jrat Manyang, kalau ada kejadian apa-apa dengan Cik Tunong, niscayalah Cik Bintara akan dapat melindunginya. Namun demikian pada permulaan tahun 1904 Cik Tunong dan keluarganya berangkat pula ke kediamannya yang baru, yaitu di Teupin Gajah, daerah Panton Labu.

Kekhawatiran Cik Bintara akan keselamatan Cik Tunong manakala saudaranya ini meninggalkan Jrat Menyang terbukti kebenarannya. Belum berapa lama Cik Tunong di kediamannya yang baru, datanglah padanya Peutua Dulah, kepala kampung Meunasah Paya di daerah Keureutoe untuk mengadukan nasibya. Ia telah mendapat marah di muka orang banyak dari Cut negeri Buwah yang memerintah daerahnya karena ia tidak baik men-jalankan perintah membuat pagar rumahnya sendiri. Oleh karena itu Peutua Dulah menaruh dendam dan berniat membunuh Cut negeri Buwah itu. Maksudnya dicegah oleh Cik Tunong dan disabarkannya. Sekembalinya dari menemui Cik Tunong, Peutua Dulah itu tidak juga reda dendamnya. Ia lebih senang menempuh jalan syahid yang menurut kepercayaannya akan membawa jiwa-nya masuk surga dan menjadi tebusan malunya di dunia. Pada tanggal 26 Januari 1905 ia dan pasukannya menyerang patroli Belanda yang berhasil dibunuhnya semua kecuali seorang saja yang dapat lolos dan melarikan diri ke Lhosukon, lalu melapor kepada atasannya. Dalam penyelidikan Belanda terdapat petun-juk jelas, bahwa sebelum menyerang patroli Belanda, Peutua Dulah lebih dahulu menemui Cik Tunong.

Maka ditangkaplah Cut negeri Buwah dan Cik Tunong yang lalu dipenjarakan di Lhoseumawe. Perkaranya diperiksa oleh van Vuuren yang paham bahasa Aceh. Keputusannya, Cik Tunong dan Cut Buwah dihukum tembak. Keputusan hukum tembak atas diri Cik Tunong dilaksanakan dalam bulan Maret 1905.

Sebelum Cik Tunong menjalani hukuman tembak, salah seorang tangan kanannya dalam perjuangan muslimin berkesem-patan menemuinya. Kepada orang kepercayaannya, Pang Nang-groe, ia berpesan pendek, "Peliharalah anakku. Aku izinkan isteriku kawin dengan engkau. Dan teruskanlah perjuangan". Pang Nanggroe bersumpah di hadapan Cik Tunong akan melak-sanakan amanatnya.

Pang Nanggroe segera berunding dengan kawan-kawannya bekas pengikut Cut Muhammad. Mereka putuskan akan segera kembali ke hutan untuk meneruskan perjuangan melawan Belan-da. Mereka bersama lalu berangkat menuju kediaman Cut Meutia, isteri Cut Muhammad, di desa Pirak, daerah Seleumak.

Cut Meutia dalam keadaan hamil tua dan sakit parah, bahkan lumpuh. Sakit Cut Meutia disebabkan kekurangan makan sehingga badannya lemah, kurang perawatannya dan kurang pengobatan. Dalam keadaan demikian ia melahirkan anak kem-barnya yang terus meninggal dunia setelah lahir. Ia tidak bertemu dengan suaminya sejak Cik Tunong ditangkap dan kemudian ditembak mati oleh Belanda.

Pang Nanggroe menyampaikan amanat Cik Tunong kepada Cut Meutia dan menyatakan, bahwa ia dengan para pengikut setia Cik Tunong akan segera menuntut balas dan kembali berjuang melawan Belanda. Cut Meutia tidak mau ketinggalan dan bersama puteranya ia ditandu masuk hutan kembali.

Mulailah babak baru perjuangan Cut Meutia yang penuh penderitaan. Dan berkobar kembalilah perjuangan muslimin melawan Belanda, meskipun tidak sebesar dan sehebat yang lam-pau. Dengan demikian sebenarnya perang Aceh belum padam dengan penyerahan diri Sultan Aceh pada tahun 1903. Rakyat Aceh masih terus berjuang menentang penjajah Belanda. Cut Meutia berobat pada dukun-dukun kampung hingga sakitnya berangsur baik. Sementara itu Belanda terus mengadakan penge-jaran. Rombongan Pang Nanggroe harus berkali-kali memin-dahkan Cut Meutia lebih ke pedalaman lagi hingga bertemu dengan pejuang muslimin di bawah pimpinan Pang Adit. Rom-bongan itu bermarkas di Bukit Masjid, sebab di sanalah Pang Adit telah mendirikan mesjid yang menjadi markas perjuangan perang sabil dan mengajarkan agama Islam dan menempa semangat jihad fi sabilillah. Di Bukit Masjid itu Pang Nanggroe mulai giat mengumpulkan tenaga pejuang dan senjata baik rencong, klewang, maupun senapan yang direbutnya dari patroli Belanda. Kemudian ia dengan pasukannya serta Cut Meutia yang sudah mulai sembuh penyakitnya berangkat ke Bukit Broek Ja.Puteranya, Teuku Raja Sabi, tidak ketinggalan. Di sana mereka bertemu dengan pejuang muslimin yang lebih besar jumlahnya. Bukit Broek Ja telah berobah menjadi kota kecil yang ramai dengan pejuang muslimin. Di sanalah Pang Nanggroe menikah dengan Cut Meutia. Selanjutnya Cut Meutia giat memimpin pasukan menentang Belanda.

Barisan muslimin makin menjadi besar, terdiri dari pasukan Pang Nanggroe/Cut Meutia, barisan Teungku di Barat, barisan Pang Amin dan pasukan Muda Kari. Pasukan Pang Amin dan Muda Kari mengadakan penyerangan di bagian negeri Krueng Pasei dekat Madan daerah Geudong. Mereka selalu memperoleh kemenangan dan berhasil merebut senjata dari tangan musuh. Sementara itu Belanda lebih memperkuat pasukannya dengan mendatangkan barisan marsose khusus di bawah pimpinan .Christoffel yang terkenal kejam sekali. Pasukan Christoffel terus mendesak dan menekan barisan muslimin sekeras-kerasnya. Oleh karena itu pasukan Teungku di Barat dan Teungku Mata Ie mun-dur ke daerah Gayo, namun pasukan Pang Nanggroe tetap di garis depan. Barisan marsose terus maju, membujuk-bujuk rakyat dan menghantamnya sekali. Siapa saja yang ditemuinya di hutan, ten-tu dijadikan umpan pelurunya.

Pada suatu hari pasukan muslimin sedang beristirahat di pon-dok dan berkumpul pria dan wanita, tiba-tiba musuh menyerang. Kaum wanita dipimpin oleh Cut Meutia mundur ke pedalaman, sedang Teuku Raja Sabi, puteranya, mengikuti Pang Nanggroe yang tidak ikut mundur. Ia terus bertahan dengan maksud melin-dungi kaum wanita jangan sampai menjadi perhatian dan serangan musuh. Pasukan marsose makin dekat, namun Pang Nanggroe tidak beranjak dari tempatnya berjuang. Akhirnya pada tanggal 26 September 1910, dari jarak yang amat dekat Pang Nanggroe tertembak musuh, tepat pada dadanya. Sambil berlu-muran darah ia memanggil Teuku Raja Sabi, putera Cik Tunong, dan berkata, "Ambillah rencong dan ikat kepalaku. Larilah lekas kepada ibumu. Sampaikanlah salamku dan teruskanlah per-juangan". Kemudian diketahui, bahwa jenazah Pang Nanggroe dimakamkan di samping mesjid Losukon.

Sepeninggalan Pang Nanggroe pimpinan pasukan diserahkan kepada Cut Meutia oleh anak buahnya dan Cut Meutia tidak menolaknya. Waktu itu kekuatan pasukan tinggal 45 orang dengan 13 pucuk senapan. Setelah bermufakat, mereka lalu berangkat ke Gayo untuk menggabungkan diri dengan pasukan lain-lainnya. Di tengah jalan, di Paya Beuranang, mereka bertemu dengan Teungku Seupot Mata dan lalu bersama meneruskan per-jalanan ke Gayo yang sulit dan gawat. Di persimpangan Krueng Peutoe, yaitu di Alue Kurieng, rombongan itu berhenti untuk menanak nasi. Di sanalah dengan mendadak mereka diserang oleh pasukan Christoffel. Secepatnya pasukan muslimin yang sudah amat kecil kekuatannya itu siap menghadapi lawan. Pertempuran terjadi dengan sengit sekali. Pada pertempuran itulah Cut Meutia tertembak kakinya dan terus terduduk di tanah. Cut Meutia tidak menyerah, bahkan dengan pedang terhunus ia terus mengadakan perlawanan hingga ia terbunuh oleh musuh. Tubuhnya terkulai di atas bumi tanah air yang ia cintai dan bela sepanjang hayatnya.

Sebelum gugur, Cut Meutia masih sempat berpesan kepada Teuku Syakh Buwah yang berada di dekatnya. Katanya dengan pendek, "Selamatkanlah anakku, Raja Sabi. Aku serahkan dia ke tanganmu". Dan amanat itu dapat dilaksanakan dengan baik sehingga Teuku Raja Sabi putera Cik Tunong dan Cut Meutia selamat hingga dapat mengalami kemerdekaan Indonesia, namun dalam tahun 1946 ia mati terbunuh dalam apa yang disebut Revolusi sosial di Sumatera Utara.

Cik Tunong, Pang Nanggroe dan Cut Meutia, ketiga-tiganya gugur sebagai kusumabangsa. Pemerintah RI dengan SK Presiden No. 107/TK/Tahun 1973 tanggal 6 Nopember 1971 menganu-gerahi Cut Meutia gelar Pahlawan Nasional