Showing posts with label Abu Ibrahim Woyla. Show all posts
Showing posts with label Abu Ibrahim Woyla. Show all posts

Tuesday, March 21, 2017

Sepenggal Kisah Hidup Abu Ibrahim Woyla

Sepenggal Kisah Hidup Abu Ibrahim Woyla 


Sepenggal Kisah Hidup Abu Ibrahim Woyla
Abu Ibrahim Woyla
Oleh Affan Ramli - Setiap kali Abu Ibrahim Woyla melewati kampung kami, saya bersama kawan-kawan selalu menghampirinya untuk mengambil uang yang telah penuh di saku celananya. Beliau membiarkan kami mengambil uang itu berapa pun, boleh ambil semuanya. Itu kebiasaan kami 20 tahun lalu.

Saat itu, saya mengira Abu Woyla membiarkan kami mengambil uang di sakunya karena beliau mendapatkannya dari sedekah masyarakat, bukan dari bekerja. Masyarakat yang ingin mendapatkan sedikit keberkatan dari karamah (keuramat) Abu Woyla berusaha menyedekahkan uang semampu mereka. Pemberi sedekah memasukan uang ke saku Abu sama seperti kami mengambilnya, sama-sama tanpa anjuran dan tanpa larangan dari pemilik saku, yakni Abu Woyla.

Belakangan setelah mengenal tokoh-tokoh sufi besar dunia dan ahli makrifat, saya bisa memahami mengapa Abu Woyla membiarkan kami mengambil uangnya. Perilaku itu dibangun berbasis pengatahun irfani (ma’rifat) yang mendudukannya pada posisi fana ul fani (ketenggelaman dalam kejayaan spiritual layaknya sang pemilik kefanaan). Di mana nilai-nilai ditetapkan ulang tidak dengan menggunakan takaran awam setelah tersingkapnya penghalang (hijab) antara dirinya dengan sumber penciptaan dan pemilik keabadian.

Nilai uang telah ditetapkan dan disepakati. Kecuali para ahli makrifat sekelas al Hallaj, Rabiah Adawiyah, Suhrawardi al-maqtul, Ibn Arabi, Mulla Sadra, dan tentunya seluruh para nabi dan para imam, mereka tidak sama sekali mengikut nilai uang sebagaimana ia telah dicitrakan. Para pemilik ilmu irfan mendekontruksi sistem nilai masyarakatnya. Pada tingkat tertentu, semua keberadaan menjadi tidak bernilai sedikit pun di mata mereka selain zat tempat kembali seluruh apa yang ada (almaujud).

Abu Ibrahim Woyla memang tidak sepopuler al-Hallaj dengan ucapannya “ana al-Haq”. Ucapan yang menyebabkan sang sufi dihukum mati oleh para fuqaha (ahli fiqih). Logika para fuqaha terlalu dangkal untuk mampu menyelami luasnya lautan spiritual para ahli makrifat.

Tetapi Abu Woyla, sebagaimana ahli makrifat lainnya kerap mengalami tuduhan tak pantas dari kaum terpelajar yang hanya menggunakan logika hukum fiqih dalam memahami seluruh perilaku penghambaan manusia.

Pemuka agama penganut pembaruan Islam ala Arab Saudi tidak mungkin berkompromi dengan Abu Woyla yang terlihat tidak pernah shalat, puasa, dan tidak bersuci dari buang air kecil serta tidak melakukan aktivitas ibadah ritual lainnya. Seorang kawan dari alumni IAIN ar-Raniry bahkan meyakini Abu Woyla telah gila.

Masyarakat luas di Aceh menyebutnya sebagai ulama keuramat. Cerita seputar peristiwa-peristiwa kekeramatan beliau sudah diketahui sebagian besar penduduk Aceh. Kemampuan berjalan di atas air, kemampuan menghilang dan tiba-tiba telah berada di satu tempat untuk mendatangi seseorang yang bernazar meminta bertemu dengannya, shalat jumat di Mekkah, pengetahuannya mendahului bala yang akan terjadi, sampai cerita tentang pasukan GAM di gunung didatangi Abu Woyla untuk menyelamatkan mereka padahal seluruh tempat yang beliau lalui sudah dikepung TNI. Dan tentu masih banyak cerita semacam ini yang tersebar dalam masyarakat Aceh.

Masyarakat awam cenderung pragmatis, sehingga memahami keunggulan Abu Woyla lebih banyak dari sisi keuramatnya. Padahal kata seorang ulama ahli makrifat Iran, keuramat itu hanyalah bonus dari Allah bagi setiap orang yang selalu dalam riadhah spiritual dan berhasil melakukan perjalanan ruhiyah menuju ilahi. Para ulama sufi jarang menggunakan bonus tersebut (keuramat), seperti Nabi SAW yang tetap bisa terluka dalam perang, tidak memilih menggunakan kemampuan keuramatnya untuk kebal.


Aspek terpenting dari Abu Woyla justru tidak mendapat perhatian masyarakat kita. Di antaranya pola latihan (riadhah) spiritual dan penguasaannya pada sebagian Irfan atau ilmu makrifat. Sangat sedikit dari teungkue-teungkue Aceh mengira penting pengetahuan irfani. Apalagi para sarjana agama yang nyaris seluruhnya membatasi bacaan mereka pada definisi tasauf, aliran-aliran dan sejarahnya saja. Pada saat yang sama, disiplin ilmu-ilmu agama lainnya berkembang relatif baik di perguruan-perguruan tinggi.

Kekalahan Spiritual

Abu Woyla kini telah tiada, beliau wafat empat hari lalu di Woyla, Aceh Barat. Saya hendak merefleksikan keberadaannya yang salah dipahami dan terabaikan. Dalam arus utama kebudayaan modern kita yang mengejar kejayaan material tanpa lelah, orang seperti Abu Woyla tidak mendapat tempat yang patut. Yaitu orang yang dengan keteladanannya memperingatkan masyarakat kita bahwa manusia memiliki sisi spiritualitas yang abadi dan harusnya terus menyempurna, dan memiliki sisi materialitas yang sesaat dan berujung dengan kebinasaan. Semua materi akan hancur.

Jika terdapat seribu disiplin ilmu yang dipelajari oleh para pelajar kita di Aceh saat ini, maka 99 % nya menjadikan materi sebagai objek kajiannya. Dari ilmu teknik, pertanian, kedokteran, sampai sospol. Artinya kita secara sungguh-sungguh memperhatikan cara merawat dan menyempurnakan sisi material dari keberadaan kita. Pun masih terdapat ilmu-ilmu rasional dan agama dalam jumlah yang sangat kecil, itu pun dipelajari dengan pertimbangan pasar tenaga kerja. Pengejaran kejayaan material akan membutakan kebudayaan kita dari kemampuan membaca makna kemanusiaan hakiki.

Abu Woyla semampunya telah berusaha memainkan peran sebagai cahaya penerang spiritual. Dia lah simbol bagi para pejuang pencerahan yang membasiskan kesibukan hidup pada ma ba’da thabi’ah (metafisik). Semoga kepergiannya kembali pada sumber penciptaan, tidak langsung bermakna padamnya Cahaya Woyla. Masyarakat Aceh menantikan “cahaya-cahaya woyla” berikutnya.


Sumber :http//superseli.multiply.com/journal/item/50/_Cahaya_Woyla