Sepenggal Kisah Hidup Abu Ibrahim Woyla
Abu Ibrahim Woyla |
Oleh Affan Ramli - Setiap kali Abu Ibrahim Woyla
melewati kampung kami, saya bersama kawan-kawan selalu menghampirinya untuk
mengambil uang yang telah penuh di saku celananya. Beliau membiarkan kami
mengambil uang itu berapa pun, boleh ambil semuanya. Itu kebiasaan kami 20
tahun lalu.
Saat itu, saya mengira Abu Woyla membiarkan kami
mengambil uang di sakunya karena beliau mendapatkannya dari sedekah masyarakat,
bukan dari bekerja. Masyarakat yang ingin mendapatkan sedikit keberkatan dari
karamah (keuramat) Abu Woyla berusaha menyedekahkan uang semampu mereka. Pemberi
sedekah memasukan uang ke saku Abu sama seperti kami mengambilnya, sama-sama
tanpa anjuran dan tanpa larangan dari pemilik saku, yakni Abu Woyla.
Belakangan setelah mengenal tokoh-tokoh sufi besar
dunia dan ahli makrifat, saya bisa memahami mengapa Abu Woyla membiarkan kami
mengambil uangnya. Perilaku itu dibangun berbasis pengatahun irfani (ma’rifat)
yang mendudukannya pada posisi fana ul fani (ketenggelaman dalam kejayaan
spiritual layaknya sang pemilik kefanaan). Di mana nilai-nilai ditetapkan ulang
tidak dengan menggunakan takaran awam setelah tersingkapnya penghalang (hijab)
antara dirinya dengan sumber penciptaan dan pemilik keabadian.
Nilai uang telah ditetapkan dan disepakati. Kecuali
para ahli makrifat sekelas al Hallaj, Rabiah Adawiyah, Suhrawardi al-maqtul,
Ibn Arabi, Mulla Sadra, dan tentunya seluruh para nabi dan para imam, mereka
tidak sama sekali mengikut nilai uang sebagaimana ia telah dicitrakan. Para
pemilik ilmu irfan mendekontruksi sistem nilai masyarakatnya. Pada tingkat
tertentu, semua keberadaan menjadi tidak bernilai sedikit pun di mata mereka
selain zat tempat kembali seluruh apa yang ada (almaujud).
Abu Ibrahim Woyla memang tidak sepopuler al-Hallaj
dengan ucapannya “ana al-Haq”. Ucapan yang menyebabkan sang sufi dihukum mati
oleh para fuqaha (ahli fiqih). Logika para fuqaha terlalu dangkal untuk mampu
menyelami luasnya lautan spiritual para ahli makrifat.
Tetapi Abu Woyla, sebagaimana ahli makrifat lainnya
kerap mengalami tuduhan tak pantas dari kaum terpelajar yang hanya menggunakan
logika hukum fiqih dalam memahami seluruh perilaku penghambaan manusia.
Pemuka agama penganut pembaruan Islam ala Arab Saudi
tidak mungkin berkompromi dengan Abu Woyla yang terlihat tidak pernah shalat,
puasa, dan tidak bersuci dari buang air kecil serta tidak melakukan aktivitas
ibadah ritual lainnya. Seorang kawan dari alumni IAIN ar-Raniry bahkan meyakini
Abu Woyla telah gila.
Masyarakat luas di Aceh menyebutnya sebagai ulama
keuramat. Cerita seputar peristiwa-peristiwa kekeramatan beliau sudah diketahui
sebagian besar penduduk Aceh. Kemampuan berjalan di atas air, kemampuan
menghilang dan tiba-tiba telah berada di satu tempat untuk mendatangi seseorang
yang bernazar meminta bertemu dengannya, shalat jumat di Mekkah, pengetahuannya
mendahului bala yang akan terjadi, sampai cerita tentang pasukan GAM di gunung
didatangi Abu Woyla untuk menyelamatkan mereka padahal seluruh tempat yang
beliau lalui sudah dikepung TNI. Dan tentu masih banyak cerita semacam ini yang
tersebar dalam masyarakat Aceh.
Masyarakat awam cenderung pragmatis, sehingga
memahami keunggulan Abu Woyla lebih banyak dari sisi keuramatnya. Padahal kata
seorang ulama ahli makrifat Iran, keuramat itu hanyalah bonus dari Allah bagi
setiap orang yang selalu dalam riadhah spiritual dan berhasil melakukan
perjalanan ruhiyah menuju ilahi. Para ulama sufi jarang menggunakan bonus
tersebut (keuramat), seperti Nabi SAW yang tetap bisa terluka dalam perang,
tidak memilih menggunakan kemampuan keuramatnya untuk kebal.
Aspek terpenting dari Abu Woyla justru tidak
mendapat perhatian masyarakat kita. Di antaranya pola latihan (riadhah)
spiritual dan penguasaannya pada sebagian Irfan atau ilmu makrifat. Sangat
sedikit dari teungkue-teungkue Aceh mengira penting pengetahuan irfani. Apalagi
para sarjana agama yang nyaris seluruhnya membatasi bacaan mereka pada definisi
tasauf, aliran-aliran dan sejarahnya saja. Pada saat yang sama, disiplin ilmu-ilmu
agama lainnya berkembang relatif baik di perguruan-perguruan tinggi.
Kekalahan Spiritual
Abu Woyla kini telah tiada, beliau wafat empat hari
lalu di Woyla, Aceh Barat. Saya hendak merefleksikan keberadaannya yang salah
dipahami dan terabaikan. Dalam arus utama kebudayaan modern kita yang mengejar
kejayaan material tanpa lelah, orang seperti Abu Woyla tidak mendapat tempat
yang patut. Yaitu orang yang dengan keteladanannya memperingatkan masyarakat
kita bahwa manusia memiliki sisi spiritualitas yang abadi dan harusnya terus
menyempurna, dan memiliki sisi materialitas yang sesaat dan berujung dengan
kebinasaan. Semua materi akan hancur.
Jika terdapat seribu disiplin ilmu yang dipelajari
oleh para pelajar kita di Aceh saat ini, maka 99 % nya menjadikan materi
sebagai objek kajiannya. Dari ilmu teknik, pertanian, kedokteran, sampai
sospol. Artinya kita secara sungguh-sungguh memperhatikan cara merawat dan
menyempurnakan sisi material dari keberadaan kita. Pun masih terdapat ilmu-ilmu
rasional dan agama dalam jumlah yang sangat kecil, itu pun dipelajari dengan
pertimbangan pasar tenaga kerja. Pengejaran kejayaan material akan membutakan
kebudayaan kita dari kemampuan membaca makna kemanusiaan hakiki.
Abu Woyla semampunya telah berusaha memainkan peran
sebagai cahaya penerang spiritual. Dia lah simbol bagi para pejuang pencerahan
yang membasiskan kesibukan hidup pada ma ba’da thabi’ah (metafisik). Semoga
kepergiannya kembali pada sumber penciptaan, tidak langsung bermakna padamnya
Cahaya Woyla. Masyarakat Aceh menantikan “cahaya-cahaya woyla” berikutnya.
Sumber
:http//superseli.multiply.com/journal/item/50/_Cahaya_Woyla