Biografi
Lengkap Teungku Nyak Arif - Namanya telah menunjukkan, bahwa Teuku Nyak Arif
seorang bangsawan Aceh. Ia dilahirkan pada tanggal 17 Juli 1899 di Ulee-lee,
Banda Aceh. Ayahnya, Teuku Nyak Banta yang nama lengkapnya Teuku Sri Imeum Nyak
Banta, Panglima (kepala daerah) Sagi XXVI Mukim. Ibunya bernama Cut Nyak
Rayeuh, bangsawan di daerah Ulee-lee pula. Teuku Nyak Arif adalah anak ketiga
dari lima orang saudara sekandung, 2 laki-laki dan 3 perem-puan. Saudara
tirinya yang dilahirkan dari 2 orang isteri ayahnya yang lain, 3 perempuan dan
2 laki-laki.
Teungku Nyak Arif - Pahlawan Nasional dari Aceh |
Teuku Nyak Arif, setelah menamatkan Sekolah Dasar di
Banda Aceh pada tahun 1908, meneruskan ke Sekolah Guru (Kweekschool) di
Bukittinggi jurusan pangrehpraja, kemudian melanjutkan ke OSVIA (Opleiding
School Voor Inlandsche Ambtenaren = Sekolah calon pangrehpraja) di Banten,
tamat tahun 1915. Ia memang disiapkan sebagai pegawai pamongpraja untuk
menggantikan ayahnya sebagai Panglima Sagi XXVI. Sebenarnya sejak 1911 ia sudah
mewarisi kedudukan itu, namun karena masih terlalu muda, ayahnyalah yang
mewakilinya hingga 1919.
Sejak kecil Nyak Arif sudah tampak cerdas dan
berwatak berani dan keras. Ia membenci Belanda karena menganggapnya bangsa itu
penjajah negerinya yang membawa kesengsaraan rakyat Aceh. Sejak kecil ia sudah
mengenal sumpah sakti orang Aceh, "Umat Islam boleh mengalah sementara,
tetapi hanya sementara saja dan pada waktunya umat Islam harus melawan
kembali". Kebenciannya kepada Belanda itu menyebabkan ia ber-sikap
melawan. Ia tidak mau menerima tunjangan f 10,— setiap bulan yang disediakan
pemerintah untuk anak-anak Aceh yang belajar di luar Aceh. Di sekolahan ia
tidak mau tunduk kepada perintah gurunya, misalnya untuk menghapus tulisan di
papan tulis dan sebagainya.
Kegemarannya, bermain sepakbola dan menjadi bintang
lapangan, baik di Banda Aceh mau pun kemudian di Bukittinggi. Pada tahun 1935
ia dipilih menjadi ketua dari Persatuan Sepak-Bola Aceh (Acehse Voetbalbond).
Keahliannya di dalam kesenian, sebagai pemain bola.
Teuku Nyak Arif kawin dengan puteri Teuku Maharaja,
kepala daerah di Lhok Seumawe. Perkawinan itu oleh mertuanya akan dirayakan
secara besar-besaran seperti lazimnya di kalangan bangsawan Aceh, namun Nyak
Arif menolak. Ia minta perkawin-annya dilaksanakan dengan sederhana dan sang
mertua pun ter-paksa menurutinya. Perkawinan itu tidak berlangsung lama. Suami
isteri bercerai sebelum dikaruniai anak. Kemudian Nyak Arif Kawin dengan pemudi
Jauhari, berpendidikan MULO (SMP Belanda) anak mantri polisi Yazid, asal
Minangkabau. Suami isteri hidup teratur dengan disiplin keluarga yang mampu
mem-bawanya ke jenjang kebahagiaan. Mereka dikarunia 3 orang anak, 2 laki-laki
dan yang bungsu wanita. Anaknya mula-mula di-sekolahkan pada Sekolah Rendah
Belanda (ELS), namun kemu-dian 2 orang puteranya dipindahkan ke Taman Siswa,
dan si bungsu bersekolah Muhammadiyah. Tentang sekolah anak-anak-nya itu sudah
memberikan petunjuk, bahwa Teuku Nyak Arif seorang yang berpandangan maju dan
memiliki sifat-sifat sebagai nasionalis.
Nyak Arif memang seorang nasionalis Indonesia yang
mengikuti faham nasionalisme NIP (Nederlandsch Indische Partij) pimpinan trio
Dr. E.F.E. Douwes Dekker (Setiabudhi Danudirja), Dr. Cipto Mangunkusumo dan
Suwardi Suryaningrat (Ki Hajar Dewantara). Pada tahun 1919 ia menjadi anggota
NIP, bahkan ketua cabang Banda Aceh. Sebagai seorang nasionalis ia selalu
memihak kepada rakyat, mengikuti jejak pengarang mashur Max Havelaar (Eduard
Douwes Dekker residen Lebak, Jawa Barat) dengan karyanya yang mengungkap
kekejaman Belanda di zaman tanam-paksa (cultuurstelsel). Karena fanatiknya
kepada Max Havelaar, maka di kalangan kaum terpelajar ia mendapat nama
panggilan Max. Nama ini terkenal di kalangan NIP dan Aceh Vereniging (Syarekat
Aceh) yang diketuainya dan bergerak di bidang sosial.
Sebagai Panglima atau kepala daerah Sagi XXVI
sikapnya tegas dan keras. Ia senantiasa menjalankan peraturan pemerintah dengan
kebijaksanaan dan memperhatikan kepentingan rakyat, dalam arti memberikan
keringanan-keringanan kepada beban yang harus ditanggung oleh masyarakat.
Sebagai Panglima Sagi XXVI ia bertempat tinggal di Lam Nyong. Ia terkenal giat
di dalam masyarakat. Berbagai gerakan ia ikuti. Kecuali Muham-madiyah dan Taman
Siswa, ia lebih dulu membantu berdirinya JIB (Jong Islamietan Bond) di Banda
Aceh dan Jong. Sumatranen Bond (Pemuda Sumatera). Kebijaksanaannya didukung
oleh ke-cakapannya mempertemukan dan merukunkan golongan muda, dan tua dan
golongan ulama dan bangsawan. Yang terakhir ini, perbedaaan pendirian kaum ulama
dan kaum bangsawan, me-rupakan ciri khas masyarakat Aceh. Dan Nyak Arif
berhasil mengatasi kesulitan itu hingga tercapai persesuaian yang laras,
khususnya dalam mengabdi kepada masyarakat dan agama.
Di Aceh Teuku Nyak Arif tercatat sebagai orang yang
ter-kemuka, mempunyai pengaruh besar di kalangan masyarakat. Kecakapannya
sebagai orang keluaran OSVIA tampak menonjol, terutama didukung oleh
keberaniannya menghadapi pembesar-pembesar Belanda. Oleh karena itu pada
tanggal 16 Mei 1927 atas usul residen Aceh ia diangkat menjadi anggota
Volksraad (Dewan Rakyat). Di samping itu pekerjaannya sebagai Panglima Sagi
XXVII tetap ia jalankan dengan baik. Sebagai anggota Volksraad ia lebih banyak
tinggal di Aceh daripada di Jakarta.
Di sidang-sidang Volksraad ia selalu menunjukkan
kecakap-an dan keberaniannya terutama dalam mengeritik kebijaksanaan pemerintah
Hindia Belanda. Lebih khusus lagi ketangkasannya menghadapi orang-orang Belanda
anggota-anggota Volksraad yang reaksioner. Seringkali nama Teuku Nyak Arif
muncul dalam laporan-laporan perdebatan di Volksraad di dalam surat-suratkabar.
Ia terpuji sebagai, "anak Aceh yang berani dan lurus" seperti ditulis
dalam laporan harian Bintang Timur. Ia mampu menandingi jago-jago bicara
Belanda terkenal di Volksraad seper-ti Mr. Drs. Fruin, Lighart dan Zentgraaf,
wartawan ulung yang amat terkenal pada zamannya. Ucapannya yang dihadapkan
kepada lawan dan kepada pemerintah antara lain, "Orang yang sopan tidak
akan mencoba menekan hak rakyat".
Pada tanggal 27 Januari 1930 di dalam Volksraad di
umum-kan oleh Moh. Husni Thamrin, berdirinya Fraksi Nasional sebagai reaksi
tindakan kejam Belanda terhadap pergerakan nasional PNI (Partai Nasional
Indonesia) dengan penangkapan-penangkapan pemimpin-pemimpinnya dan sebagai
kelompok yang sanggup me-nandingi golongan Belanda yang terhimpun dalam
Vaderlandsche Club (Cinta Tanah Air Belanda). Fraksi Nasional itu diketuai oleh
Moh. Husni Thamrin dengan anggota-anggota, Kusumo Utoyo, Dwijowewoyo, Datuk
Kayo, Muchtar, Teuku Nyak Arif Suangkupun, Pangeran Ali dan R.P. Suroso.
Di dalam Fraksi Nasional itu pun Nyak Arif cukup
menonjol. Dalam sidang Volksraad tanggal 18 Juni 1928 ia menjelaskan
pen-diriannya tentang Persatuan Indonesia, antara lain sebagai berikut:
"Jikalau kita membicarakan keadaan politik di
negeri ini haruslah memakai kata Indonesia. Ada juga pemimpin Indonesia segan
memakai kata Indonesia itu. Kata Indonesia mengandung suatu kebangsaan dan
bukan sesuatu yang hampa dan impian. Dasar pembentukan kebangsaan itu adalah,
bahasa, kesenian dan hukum tanah. Dasar-dasar itu harus dikembangkan ke arah
kesatuan kebangsaan, sebagai salah satu syarat untuk mencapai kemer-dekaan
kenegaraan (Staatkundige vrijheid) Sebelum meninggalkan mimbar ini, sekali lagi
saya ingin menun-jukkan kepada bangsaku yang terhormat pada kenyataan, bahwa
mereka dalam batas-batas hukum secara mutlak dapat berjalan bersama untuk
mewujudkan cita-cita; dengan melalui persatuan In-donesia mencapai kemerdekaan
nasional."
Dalam tahun 1931 berakhirlah keanggotaan Teuku Nyak
Arif dalam Volksraad. Ia kembali ke pekerjaannya sekaligus giat dalam
perjuangan rakyat di Aceh. Berbagai langkah dan tin-dakannya senantiasa menuju
kepentingan dan keringanan rakyat, bahkan pembelaan terhadap nasib rakyat
kecil. Sekalipun keja-dian tidak di wilayah kekuasaannya, namun Nyak Arif tidak
segan-segan bertindak. Dialah satu-satunya Ulebalang (Panglima) yang amat
disegani baik oleh rekan-rekannya maupun oleh Belan-da. Pajak nipah yang hendak
dikenakan di daerah bukan kekua-saan Nyak Arif dibatalkan karena tuntutan Teuku
Nyak Arif. Kontrolir, polisi dipindahkan karena tindakannya yang
sewenang-wenang dituntut oleh Nyak Arif.
Di dalam gerakan agama ia terkenal dengan
prakarsanya menentang Ordonansi Mencatat Perkawinan (sipil) karena hal itu
bertentangan dengan agama Islam dan tak ada manfaatnya di-jalankan di Aceh yang
penduduknya hampir semuanya beragama Islam. Ia mendukung Muhammadiyah, termasuk
Hizbul Wathan dan pemuda Muhammadiyah. Ia menyokong Taman Siswa dengan
terang-terangan sebagai donatur tetap. Pada waktu Taman Siswa menentang
Ordonansi Sekolah Liar Teuku Nyak Arif membantu aksi perlawanan Taman Siswa
dengan gigih. Pendeknya hampir segala kegiatan masyaratan yang bersifat sosial
politis ekonomis untuk kepentingan nasional, pastilah disokong oleh Nyak Arif
atau dialah yang justru memprakarsainya. Ber-dirinya Beasiswa Aceh diprakarsai
dan diketuai olehnya berhasil mengirimkan siswa-siswa ke Perguruan Tinggi.
Pada saat Belanda dalam keadaan lemah karena
menghadapi serbuan Hitler dalam Perang Dunia II, Nyak Arif dengan cekatan
menggunakan kesempatan yang baik itu. Pada pertemuan pemim-pin-pemimpin
masyarakat, agama dan partai-partai politik, pada waktu memperingati wafatnya
Dr. Sutomo, Teuku Nyak Arif ber-bicara dengan berkobar-kobar menanam semangat kebangsaan
yang tahan uji dan sanggup mencapai kemerdekaan. Pada akhir pidatonya ia
mengajak semua yang hadir bersumpah, mengikuti sumpah yang diucapkannya. Ia
disumpah oleh Haji Abdullah Lam U, mengucapkan:
"Walah, Bilah, Tallah.
Saya berjanji setia kepada tanah air, bangsa dan
agama, dan tidak mengkhianati perjuangan." Semua yang hadir mengikuti
sumpah Nyak Arif termasuk Tengku Daud Beureuh, Teuku Cut Hasan, Tengku Syekh
Ibrahim Lamnga, Tengku H. Abdullah In-drapuri dan Tengku H. Abdulah Lam U. Demikianlah
gambaran kegiatan dan wibawa Teuku Nyak Arif di dalam masyarakat luas di Aceh.
Pada akhir 1941 Jepang menyerbu Malaya. Penang jatuh
pada 19 Desember 1941, Ipoh pada 28 Desember dan pada 11 Januari 1942
Kualalumpur dan Singapore jatuh pula. Kemudian pada 22 Januari 1942 Sabang
dibom dengan hebat dan kapal Belanda Hr. Ms. Wegu ditenggelamkan di pelabuhan
Ulee-lee. Keadaan menjepit menghimpit Belanda dan rakyat Aceh mulai bangkit
bersiap-siap menjelang datangnya Jepang.
Pemberontakan terjadi di Seubimeum. Orang-orang
Eropa di Banda Aceh diungsikan ke Medan. Kontrolir Tiggelman dibunuh. Kepala
jawatan keretaapi van Sperling dibunuh. Hubungan tilpon dengan Medan
diputuskan. Rel-rel di Indrapuri dibongkar. Di Banda Aceh diumumkan jam malam.
Pada tahun 1939 berdiri Persatuan Ulama Aceh,
disingkat PUSA yang diketuai oleh Tengku Daud Beureuh. Pemuda-pemuda PUSA
mengadakan hubungan dengan Jepang di Malaya sejak 1940 sampai 1942. Kemudian
Jepang mempergunakan PUSA untuk melemahkan Belanda di Aceh dengan segala jalan.
Teuku Nyak Arif prihatin melihat langkah-langkah PUSA dan menganggapnya sebagai
suatu kemunduran bagi pergerakan na-sional.
Keadaan makin lama makin memuncak. Pada 8 Maret 1942
residen Aceh mengadakan pertemuan politik dengan Tuanku Mahmud dan Teuku Nyak
Arif. Permintaan Nyak Arif agar pemerintah diserahkan kepadanya ditolak oleh
residen. Perte-muan lanjutan pada 10 dan 11 Maret 1942 diundang 9
pemimpin-pemimpin Aceh, namun Nyak Arif tidak hadir. Ternyata 8 orang pemimpin
yang hadir semuanya ditangkap. Rumah Nyak Arif di Lam Nyong diserbu, namun Nyak
Arif tak diketemukan dan keluarganya sempat meninggalkan rumahnya sebelum
diserbu Belanda. Kolonel Gozenson panglima militer di Aceh berusaha
sungguh-sungguh untuk menangkap Nyak Arif, tapi tidak berhasil. Pemimpin-pemimpin
lainnya, Cut Hasan Mauraxa, Hanafiah dan Raja Abdullah berhasil ditangkap.
Pada 12 Maret 1942 tentara Jepang mendarat di
Sabang, kemudian Mayor Jenderal Overakker dan Kolonel Gazenson menyerah kepada
Jepang pada 28 Maret 1942. Sementara itu rakyat telah membentuk "Komite
Pemerintahan daerah Aceh" dengan Teuku Nyak Arif sebagai ketuanya.
Jepang mengatur pemerintahan di Indonesia dengan
pem-bagian yang berbeda dengan Belanda. Sumatera dan Kalimantan digabungkan
dengan Malaya, dikuasai oleh tentara XXV. Jawa dikuasai oleh tentara XVI dan
Indonesia Timur dikuasai oleh Angkatan Laut. Sumatera dibagi menjadi 9
karesidenan, masing-masing dikepalai oleh residen Jepang (Cookang). Di Aceh
Jepang menggunakan kaum Uleebalang dalam pemerintahan. Hal ini menimbulkan
kekecewaan kepada PUSA yang merasa berjasa kepada Jepang, tetapi hanya dipakai
untuk bidang keagamaan.
Teuku Nyak Arif menempuh jalan kerjasama dengan
Jepang. Ia diangkat menjadi penasehat pemerintahan militer Jepang. Sebenarnya
Nyak Arif tidak menaruh kepercayaannya kepada Jepang. Ucapannya yang terkenal
ialah: "Kita usir anjing, datang babi." Belanda pergi Jepang datang,
demikianlah maksud ucapan itu. Dua-duanya sama-sama busuknya.
Seperti pula terjadi di semua tempat, di Aceh pun
Jepang ber-tindak kejam. Rakyat ditindas dan semuanya dikerahkan untuk
kemenangan perangnya. Pangan dan sandang amat kurang. Maka terjadilah pada
tahun 1942 pemberontakan yang dipimpin oleh Tengku Abdul Jalil di Cot Pliing.
Jepang menyerbu pemberontak yang sedang menjalankan shalat Subuh, namun
serangan Jepang itu mengalami perlawanan sengit sekali. Jepang mundur,
kemu-dian menyerang untuk kedua kalinya yang mengalami nasib yang sama. Baru
yang ketiga kalinya serangan Jepang berhasil. Mesjid dibakar. Teuku Jalil dapat
meloloskan diri, tetapi akhirnya pun terbunuh di waktu ia sedang bersembahyang.
Pemerintah Jepang mengadakan Dewan Perwakilan Rakyat
yang disebut "Aceh Syiu Sangikai." Nyak Arif dipilih menjadi
ke-tuanya. Pada tahun 1943 sebagai ketua itu Nyak Arif diundang ke Tokio
bersama 14 orang pemimpin lainnya dari seluruh Sumatera. Pada waktu mau
dihadapkan kepada Tenno Heika, Nyak Arif dan Teuku Hasan menolak menjalankan
Saekere, memberi hor-mat dengan membungkuk seperti menyembah. Akhirnya
disetujui hanya dengan menganggukkan kepala saja di muka Kaisar Jepang.
Sepuluh dari Jepang, dua orang wakil Aceh tersebut
disuruh berpidato di muka mesjid raya Banda Aceh. Pidato mereka memuji kekuatan
Jepang, namun banyak sindiran, bahkan ejekan. Di lain kesempatan Teuku Hasan
mengatakan Jepang itu di negerinya baik-baik, sedang di Indonesia mereka jahat
dan jelek. Oleh karena itu ia ditangkap, kemudian dibunuh.
BACA JUGA
Di zaman penuh kesulitan, rakyat banyak sekali
mengalami penderitaan dan perlakuan tidak adil. Tidak sedikit orang yang mengadukan
nasibnya kepada Teuku Nyak Arif dan ia pun sering-kali banyak bertindak. Gedung
Yatim Piatu Muhammadiyah akan digunakan asrama tentara Jepang. Atas bantuan
Nyak Arif Maksud Jepang itu dapat dicegah. Ia banyak sekali melemparkan kritik
kepada tindakan Ken petai dan residen pula. Nyak Arif memang disegani oleh
Jepang. Meskipun ia keras dan banyak ben-trok dengan pejabat-pejabat Jepang
sipil dan militer, namun pemerintah Jepang mau tidak mau harus memperhitungkan
dia sebagai pemimpin rakyat Aceh yang besar pengaruhnya.
Pada tahun 1944 Nyak Arif dipilih menjadi wakil
ketua "Sumatera Chuo Sangi In" (Dewan Perwakilan Rakyat seluruh
Sumatera) yang diketuai oleh Moh. Syafei. Ia berpendirian, kerja-sama dengan
Jepang harus dimanfaatkan untuk kepentingan rakyat. Dalam pidatonya pada bulan
Maret 1945 antara lain ia katakan:
" Sumatera Chuo Sangi In akan membawa kita
bersama secepat mungkin ke arah yang kita ingini hanyalah dengan penghargaan
dan bekerjasama dari seluruh penduduk pulau Sumtera ini. Persatuan lahir bathin
yang kokoh dengan mem-punyai tujuan yang tertentu, yaitu 'Indonesia Merdeka'
haruslah menjadi tujuan hidup kita bersama. Kemerdekaan akan tercapai dengan
berbagai-bagai pengorbanan, pengorbanan dan pertahanan yang sempurna hanya
dapat dilaksanakan oleh rakyat yang segar dan sehat "
Kekalahan Jepang dalam Perang Dunia II disampaikan
oleh Chokang Aceh S. Ino kepada pemimpin-pemimpin Aceh, Teuku Nyak Arif,
Panglima Polim dan Teuku Daud Beureuh, katanya: "Jepang telah berdamai
dengan Sekutu."
Proklamasi Kemerdekaan Indonesia terdengar di Aceh
yang disampaikan oleh 2 orang pemuda kepada Teuku Nyak Arif, kemudian didapat
berita-berita radiogram dari Adinegoro di Bukittinggi. Pemimpin-pemimpin rakyat
mengadakan pertemuan dan membentuk "Komite Nasional Indonesia" (KN1)
pada tang-gal 28 Agustus 1945. Teuku Nyak Arif dipilih menjadi ketuanya. Pada
tanggal 3 Oktober 1945 Teuku Nyak Arif diangkat oleh pemerintah RI menjadi
residen Aceh.
Selanjutnya Teuku Nyak Arif diliputi oleh berbagai
kegiatan, baik soal-soal sipil maupun soal-soal keamanan/ketentaraan. Mula-mula
dibentuk API (Angkatan Pemuda Indonesia) diketuai oleh Syamaun Gaharu yang
kemudian menjadi panglima divisi TKR (Tentara Keamanan Rakyat) dengan pangkat
Kolonel. Mula-mula Jepang menghalang-halangi API, namun karena ketegasan dan
keberanian residen Teuku Nyak Arif yang didukung oleh kaum pemuda dan rakyat,
maka akhirnya dapat dilaksanakan penyerahan senjata oleh Syucokan kepada
residen RI. Senjata itu kemudian dibagikan kepada TKR dan Polisi Istimewa. PUSA
tidak diberi senjata karena bukan badan resmi.
Dalam keadaan peralihan yang serba berat, maka
residen Nyak Arif lebih banyak menyerupai pimpinan ketentaraan. Oleh karenanya
tugas sipilnya banyak diserahkan kepada wakil residen. Teuku Nyak Arif banyak
mengadakan perjalanan keliling mengatur ketentaraan dan khususnya keamanan.
Karena jasanya itu ia pada tanggal 17 Januari 1946 ia diangkat menjadi Jenderal
Mayor Tituler.
Revolusi masih berjalan terus. Setiap waktu dapat
terjadi perobahan yang di luar perhitungan. Di Aceh bergolaklah kembali
persaingan antara kaum Ulebalang dan kaum Ulama. Laskar yang terbesar di Aceh
adalah Mujahiddin dan Pesindo. Mujahiddin yang di bawah pengaruh kaum agama
mempunyai ambisi akan menggantikan residen Nyak Arif. Maksud itu mendapat
dukungan dari TPR (Tentara Perlawanan Rakyat).
Waktu itu Teuku Nyak Arif sedang beristirahat karena
penyakit gulanya kambuh. Pimpinan TKR sanggup menghadapi TPR dan Mujahiddin,
tetapi Nyak Arif tidak memberikan izin, katanya: "Biarlah saya serahkan
jabatan ini, asal tidak terjadi pertumpahan darah seperti di Pidie." Maka
dengan secara damai pangkatnya Jenderal Mayor diambilalih oleh Hasan al Mujahid
dan pangkat Kolonel Syamaun Gahara diambilalih oleh Husen Yusuf. Demikianlah
dikisahkan dalam "Pahlawan Nasional May-jen Teuku Nyak Arif,"
Departemen Pendidikan dan Kebudayaan Proyek Biografi/Drs. Mardanas Safwan,
Pahlawan Nasional, 1976.
Nyak Arif ditangkap secara baik dan terhormat,
dibawa dengan kendaraan sedan dan dikawal oleh 2 orang anggota TPR yang
berpakaian hitam-hitam dan memakai topeng. Para pemim-pin terkemuka di Lam
Nyong mengusulkan agar Teuku Nyak Arif diistirahatkan di sana, tetapi Nyak Arif
menolak karena khawatir rakyat Lam Nyong akan membelanya dengan kekerasan.
Semua langkah dan pikiran ditetapkan untuk Nyak Arif selalu ditetapkan untuk
menghindari pertempuran sesama kita, dan untuk maksud itu ia ikhlas berkorban.
Korbannya terutama tidak lain ialah kedudukan dan pangkat yang ia ikhlaskan
untuk mencegah pertempuran yang akan berakibat parah untuk kesatuan dan
per-satuan rakyat, sebab revolusi belum selesai. Rakyat harus tetap bersatu
menghadapi segala kemungkinan.
Teuku Nyak Arif dibawa beristirahat di Takengon.
Sebulan kemudian keluarga diizinkan menjenguknya. Sementara itu penyakit
gulanya makin parah dan sebelum hayatnya berakhir ia berpesan kepada
keluarganya: "Jangan menaruh dendam, karena kepentingan rakyat harus
diletakkan di atas segala-galanya."
Teuku Nyak Arif, pemimpin rakyat yang sepanjang
hidupnya berjuang untuk kemerdekaan bangsa dan negara dengan jasa-jasanya yang
besar dan dengan keikhlasannya berkorban, pada tanggal 26 April 1946 wafat
dengan tenang di Takengon, Jenazahnya dikebumikan di makam keluarganya di Lam
Nyong.
Pemerintah RI berdasarkan SK Presiden No. 071
/TK/Tahun 1974 tanggal 9 Nopember 1974 menganugerahi Teuku Nyak Arif gelar
Pahlawan Nasional.