Biografi Cut Meutia - Pahlawan Nasional dari Aceh
Cut Meutia, juga disebut Cut Nyak Meutia adalah puteri Bin Dawud, Ulebalang di Perak, negeri Aceh. Ia lahir dalam tahun 1870, yaitu 3 tahun sebelum perang Aceh meletus. Tidak banyak, bahkan hampir tidak ada cerita tentang masa kanak-kanaknya, kecuali ia terkenal sebagai seorang wanita yang cantik, kulitnya putih bersih, tubuhnya tinggi semampai. Waktu menjelang dewasa ia dipertunangkan dengan Teuku Syam Sareh, seorang dari 3 anak angkat Cut Nyak Aisah.
Cut Meutia - Pahlawan Nasional dari Aceh |
1.
Teuku Adit;
2.
Teuku Syam Sareh yang kemu-dian bergelar Teuku Cik Bintara; dan
3.
Teuku Cut Muhammad yang kemudian bergelar Teuku Cik Tunong.
Cut Nyak Aisah menghendaki agar kemudian salah seorang dari 3 kemenakannya itu dapat mewarisi kedudukan Ulebalang di Keureutoe.
Cut Nyak Aisah menghendaki agar kemudian salah seorang dari 3 kemenakannya itu dapat mewarisi kedudukan Ulebalang di Keureutoe.
Daerah
Keureutoe semula dipimpin oleh Ulebalang Teuku Cik Mulieng Abdul Majid. Pada
tanggal 7 April 1874 Ulebalang Keureutoe itu menyatakan tunduk kepada Belanda
dan menanda-tangani perjanjian pendek. Kedudukan sebagai Ulebalang Keureutoe
kemudian digantikan oleh Teuku Muhammad Alibasyah, suami Cut Nyak Aisah
tersebut. Setelah Teuku Muhammad Alibasyah meninggal, kedudukannya diganti oleh
isterinya, Cut Nyak Aisah. Dari 3 orang anak angkatnya tersebut yang kemudian
menggantikan kedudukan sebagai Ulebalang Keureutoe adalah anak yang kedua,
yaitu Teuku Syam Sareh bergelar Teuku Cik Bintara. Seperti Ulebalang
sebelumnya,Teuku Cik Bintara ini pun terikat oleh
perjanjian dengan Belanda, bahkan Belandalah yang mengangkat dia menjadi
Ulebalang Keureutoe.
Perjanjian
pendek dengan Belanda itu memuat 3 pasal utama, ialah:
1.
Mengakui kedaulatan Belanda atas daerahnya;
2.
Mengakui bahwa musuh
Belanda adalah musuhnya;
dan
3.
Tidak mengadakan perjanjian dengan negara lain.
Maka 3 pasal perjanjian itu jelas mengandung arti, bahwa daerah dan Ulebalang Keureutoe diharuskan melepaskan diri dari segala ikatan dengan negeri dan Sultan Aceh.
Maka 3 pasal perjanjian itu jelas mengandung arti, bahwa daerah dan Ulebalang Keureutoe diharuskan melepaskan diri dari segala ikatan dengan negeri dan Sultan Aceh.
Sewaktu
kanak-kanak, Teuku Syam Sareh (Cik Bintara) tersebut dipertunangkan dengan Cut
Meutia. Pertunangan ini ditetapkan oleh orang tua kedua belah fihak tanpa
sepengetahuan yang bersangkutan. Meskipun kemudian mereka itu dikawinkan, namun
Cut Meutia tidak mau menjalankan kewajibannya sebagai seorang isteri. Oleh
karenanya mereka lalu bercerai. Kemudian Cut Meutia kawin dengan adik Syah
Sareh, yaitu Teuku Cut Muhammad yang kemudian bergelar Teuku Cik Tunong. Suami
isteri ini dalam hidupnya bersatu dengan perjuangan rakyat Aceh yang disebut
rakyat muslimin untuk menentang penjajahan Belan-da.
Teuku
Cut Muhammad, suami Cut Meutia, kecuali tidak terikat oleh perjanjian pendek
dengan Belanda yang ditan-datangani oleh kakaknya, ia merasa lebih tertarik
oleh perjuangan rakyat muslimin menentang Belanda. Ia mengumpulkan sebanyak 12
orang teman-temannya yang gagah berani, tampan dan tungkas yang dibawanya
menghadap Sultan Aceh. Tempat tinggal Cut Muhammad itu di daerah pedalaman
Keureutoe yang belum di-jamah oleh Belanda. Belanda hanya ada di kota
Lhoseumawe. Ia dengan kawan-kawannya berjuang di pihak muslimin. Isterinya, Cut
Meutia, selalu mendampingi dalam perjuangannya. Hingga menjelang tahun 1899
perjuangan pasukan Cut Muhammad itu amat menonjol dengan keberaniannya yang
telah membuat Belan-da kerepotan, tetapi kemudian hampir 2 tahun lamanya dari
tahun 1899 sampai 1901 pasukan Cut Muhammad tidak banyak tampil di medan
perjuangan. Belanda mengira bahwa mereka akan menyerah, tetapi tahu-tahu, masih
di dalam tahun 1901, Cut Muhammad dan pasukannya giat kembali mengubrak-abrik
pasukan Belanda.
Sultan
Aceh dengan pengiringnya, setelah meninggalkan istananya pada akhir tahun 1873
karena serbuan Belanda, mengungsi ke Pasei, namun tidak selalu menetap di sana.
Ia berkunjung ke daerah-daerah di sekitar Pasei untuk menggerak-kan rakyat
dalam perjuangan melawan Belanda. Ia pun mengutus wakilnya menghubungi para
Ulebalang dan mengundangnya ber-musyawarah. Para Ulebalang diharapkan memberi
bantuan untuk perjuangan berupa harta, makanan dan alat-alat senjata.
Waktu
itu Ulebalang di Keureutoe masih Cut Nyak Aisah yang terkenal memiliki kekayaan
yang cukup besar. Di dalam musyawarah yang diadakan oleh Sultan, Cut Nyak Aisah
tidak hadir dan tidak pula mengirimkan wakilnya, mungkin karena dia sudah
terikat perjanjian dengan Belanda. Waktu utusan Sultan datang pada Cut Nyak
Aisah, utusan itu dipersilakan meng-hubungi pembantu Cut Nyak Aisah di bidang
keuangan, yaitu Syahbandar Krueng Baru. Pertemuan utusan Sultan dengan
Syahbandar itu tidak menghasilkan sesuatu bantuan apa pun, karena Syahbandar
Krueng Baru sedang asyik berjudi. Sebenar-nya hal itu sama sekali bukan
kesalahan Cut Nyak Aisah, namun Sultan menganggap, bahwa Cut Nyak Aisah tidak
mau memban-tunya, bahkan memusuhinya. Oleh karenanya dalam tahun 1901
diperintahkanlah Panglima Perang Aceh, Muda Pahlawan, menyerbu kampung J rat
Manyang, tempat kediaman Cut Nyak Aisah di daerah Keureutoe.
Dalam
penyerbuan itu berhasil diketemukan emas, intan berlian, barang-barang
berharga, tembakau berpeti-peti, buah pinang yang sudah digiling dan
diharumkan. Semua itu adalah persediaan akan bekal Cut Nyak Aisah hendak
menunaikan ibadah haji ke Mekah. Sebagian besar dari harta itu diambil oleh
pasukan Muda Pahlawan dan sebagian tertinggal berserakan di lantai. Oleh karena
serbuan yang ganas itu, maka niat Cut Nyak Aisah menunaikan ibadah haji tak
dapat dilaksanakan.
Pada
waktu rumah kediamannya diserbu tentara Sultan, Cut Nyak Aisah sedang di
Malieng untuk mengadakan kenduri sehubungan dengan akan keberangkatannya ke
tanah suci, sedan e
Teuku
Muhammad datang terlambat di Jrat Manyang dan tidak dapat berbuat sesuatu apa
pun. Pada waktu Muda Pahlawan dengan pasukannya masih di Jrat Manyang, pasukan
Belanda sudah segera datang dan menyerbunya. Pertempuran terjadi. Muda Pahlawan
terjebak karena tak tahu adanya pintu rahasia dalam rumah Nyak Aisah itu untuk
lolos dari kepungan musuh. Pemimpin pasukan Belanda Letnan Kok terbunuh dalam
pertem-puran itu.
Sejak
akhir tahun 1901 Cut Muhammad dan 12 orang teman-nya kembali berjuang dengan
gigih. Mereka melakukan sabotase di mana-mana, di malam hari membongkar rel
kereta api yang dibuat Belanda untuk mengangkut pasukannya. Kawat telpon
dipotong-potongnya dan lain-lain pengrusakan yang amat merugikan Belanda.
Pembalasan Belanda di daerah yang terjadi sabotase itu amat kejam sekali.
Rakyat disiksa dan dijadikan um-pan peluru dengan semena-mena. Sultan Aceh
meninggalkan daerah itu, namun sama sekali tidak menjadikan perjuangan Cut
Muhammad menjadi kendur. Ia mempersatukan para Ulebalang di daerah Keureutoe
yang tidak terikat pada perjanjian dengan Belanda, terutama di daerah selatan.
Sultan
mengangkat Cut Muhammad menjadi Ulebalang Keu-reutoe. Maksudnya untuk Keureutoe
seluruhnya, meskipun yang bagian utara dengan Ulebalangnya Cik Bintara telah
tunduk kepada Belanda. Di kalangan rakyat Cut Muhammad lebih dikenal sebagai
Cik Tunong, artinya Cik (Ulebalang) bagian selatan. Dan Cik Bintara dipanggil
Cik Baroh (utara).
Semangat
Cik Tunong tidak pernah padam. Dalam tahun 1901 hingga 1903 ia memimpin
pertempuran di Aceh Utara bagian timur. Pasukannya menyerang dan menghadang
Belanda dan berhasil merebut senjatanya. Mata-mata musuh ditindak keras seperti
halnya Pang Gadeng dan Mubin yang tertangkap basah. Dua orang mata-mata musuh
itu minta hidup. Mereka diberi am-pun, tetapi harus menebusnya dengan 100 pucuk
senjata dan beberapa puluh orang dari pasukan Belanda. Maka terjadilah suatu
peristiwa yang khas. Pada esok malamnya 2 orang mata-mata musuh itu memancing
pasukan Belanda untuk menyerbu ke Paya Ciciem dengan menumpang 2 buah perahu
yang disiapkan oleh mata-mata itu. Dua perahu itu oleh Pang Gadeng dan Mubin
diberi lubang-lubang yang ditutupnya. Malam itu juga pasukan Cik Tunong siap di
tepi pantai dengan rencong dan pedang terhunus. Setelah dekat pantai
lubang-lubang di perahu itu dibuka oleh Pang Gadeng dan Mubin. Air masuk ke
dalam perahu. Pasukan Belanda kalangkabut dan terjun ke dalam air. Waktu hendak
naik ke pantai pasukan Belanda itu disambut oleh rakyat muslimin dengan tusukan
rencong dan ayunan pedang. Tebusan nyawa 2 orang mata-mata Belanda itu
menghasilkan 67 pucuk sen-jata dan beberapa puluh orang dari pasukan Belanda,
kecuali seorang saja yang selamat karena sempat memanjat pohon kayu. Mubin
tewas pada malam itu, sedang Pang Gadeng dihabisi nyawanya oleh tipu muslihat
Belanda.
Kegigihan
dan kegiatan perjuangan Cik Tunong dengan pasukannya menyebabkan pasukan Sultan
tidak harus banyak berjuang lagi di daerah Pasei. Maka berangkatlah Sultan dan
pasukannya ke daerah Pidie. Keberangkatan Sultan dari Pasei tidak mempengaruhi
semangat juang Cik Tunong. Sementara itu perjuangan muslimin tampak mulai
kendor di berbagai sektor. Demikian pula pasukan Cik Tunong tidak selalu
mengalami kemenangan, karena Belanda memperkuat pasukannya dengan bantuan yang
datang mengalir berupa pasukan marsose yang bergerak cepat dan bertindak tegas
serta ganas.
Kemunduran
perjuangan muslimin terasa sekali setelah terbetik berita, bahwa di antara para
ulama telah ada yang diam-diam turun kembali ke desa dan mendirikan pesantren.
Panglima Polim, Tuanku Raja Keumala dan pemuka Kesultanan lain-lainnya
menyerah. Kemudian pada tanggal 9 Januari 1903 Sultan Aceh menyerah di Ie
Leubene Pidie. Pada tanggal 13 Januari 1903 ia berangkat ke Banda Aceh,
kemudian pada tanggal 20 Januari 1903 Sultan bersama puteranya Tuanku Ibrahim
diterima oleh gupernur sipil dan militer J.B. van Heutsz.
Bagaimanakah
sikap Cik Tunong selanjutnya? Ia diangkat oleh Sultan, padahal Sultan sekarang
sudah menyerah. Oleh karenanya ia pun bersepakat dengan isterinya, Cut Meutia
yang selalu mendampinginya dalam perjuangan bersenjata, dan pasukannya terutama
kawan-kawannya yang 12 orang, untuk turun dari hutan dan kembali ke desanya.
Mereka bersiap-siap un-tuk menempuh hidup baru. Cik Tunong dan segenap
pengikutnya turun ke Lhoseumawe, tempat yang ada penguasa Belanda untuk melapor
dan menyerah. Cik Tunong menyerah pada tanggal 5 Oktober 1903, yaitu 9 bulan
kemudian dari pada Sultan menyerah.
Cik
Tunong lalu kembali ke Jrat Manyang, tempat kediaman Cut Nyak Aisah, ibu
angkatnya. Ia pulang bersama isteri dan se-orang puteranya yang bernama Teuku
Raja Sabi. Setelah bebe-rapa lama di Jrat Manyang dan bersatu dengan Cut Nyak
Aisah dan saudaranya, yaitu Teuku Cik Bintara (Syam Sareh) Ulebalang Keureutoe
yang sudah lebih dahulu bekerjasama dengan Belanda, maka Cik Tunong merasa
tidak serasi dan bermaksud memilih tempat yang baru. Maksud itu dicegah oleh
Cik Bintara, karena suasananya masih gawat. Dengan berdiam di Jrat Manyang,
kalau ada kejadian apa-apa dengan Cik Tunong, niscayalah Cik Bintara akan dapat
melindunginya. Namun demikian pada permulaan tahun 1904 Cik Tunong dan
keluarganya berangkat pula ke kediamannya yang baru, yaitu di Teupin Gajah,
daerah Panton Labu.
Kekhawatiran
Cik Bintara akan keselamatan Cik Tunong manakala saudaranya ini meninggalkan
Jrat Menyang terbukti kebenarannya. Belum berapa lama Cik Tunong di kediamannya
yang baru, datanglah padanya Peutua Dulah, kepala kampung Meunasah Paya di
daerah Keureutoe untuk mengadukan nasibya. Ia telah mendapat marah di muka
orang banyak dari Cut negeri Buwah yang memerintah daerahnya karena ia tidak
baik men-jalankan perintah membuat pagar rumahnya sendiri. Oleh karena itu
Peutua Dulah menaruh dendam dan berniat membunuh Cut negeri Buwah itu.
Maksudnya dicegah oleh Cik Tunong dan disabarkannya. Sekembalinya dari menemui
Cik Tunong, Peutua Dulah itu tidak juga reda dendamnya. Ia lebih senang
menempuh jalan syahid yang menurut kepercayaannya akan membawa jiwa-nya masuk
surga dan menjadi tebusan malunya di dunia. Pada tanggal 26 Januari 1905 ia dan
pasukannya menyerang patroli Belanda yang berhasil dibunuhnya semua kecuali
seorang saja yang dapat lolos dan melarikan diri ke Lhosukon, lalu melapor kepada
atasannya. Dalam penyelidikan Belanda terdapat petun-juk jelas, bahwa sebelum
menyerang patroli Belanda, Peutua Dulah lebih dahulu menemui Cik Tunong.
Maka
ditangkaplah Cut negeri Buwah dan Cik Tunong yang lalu dipenjarakan di
Lhoseumawe. Perkaranya diperiksa oleh van Vuuren yang paham bahasa Aceh.
Keputusannya, Cik Tunong dan Cut Buwah dihukum tembak. Keputusan hukum tembak
atas diri Cik Tunong dilaksanakan dalam bulan Maret 1905.
Sebelum
Cik Tunong menjalani hukuman tembak, salah seorang tangan kanannya dalam
perjuangan muslimin berkesem-patan menemuinya. Kepada orang kepercayaannya,
Pang Nang-groe, ia berpesan pendek, "Peliharalah anakku. Aku izinkan isteriku
kawin dengan engkau. Dan teruskanlah perjuangan". Pang Nanggroe bersumpah
di hadapan Cik Tunong akan melak-sanakan amanatnya.
Pang
Nanggroe segera berunding dengan kawan-kawannya bekas pengikut Cut Muhammad.
Mereka putuskan akan segera kembali ke hutan untuk meneruskan perjuangan
melawan Belan-da. Mereka bersama lalu berangkat menuju kediaman Cut Meutia,
isteri Cut Muhammad, di desa Pirak, daerah Seleumak.
Cut
Meutia dalam keadaan hamil tua dan sakit parah, bahkan lumpuh. Sakit Cut Meutia
disebabkan kekurangan makan sehingga badannya lemah, kurang perawatannya dan
kurang pengobatan. Dalam keadaan demikian ia melahirkan anak kem-barnya yang
terus meninggal dunia setelah lahir. Ia tidak bertemu dengan suaminya sejak Cik
Tunong ditangkap dan kemudian ditembak mati oleh Belanda.
Pang
Nanggroe menyampaikan amanat Cik Tunong kepada Cut Meutia dan menyatakan, bahwa
ia dengan para pengikut setia Cik Tunong akan segera menuntut balas dan kembali
berjuang melawan Belanda. Cut Meutia tidak mau ketinggalan dan bersama
puteranya ia ditandu masuk hutan kembali.
Mulailah
babak baru perjuangan Cut Meutia yang penuh penderitaan. Dan berkobar
kembalilah perjuangan muslimin melawan Belanda, meskipun tidak sebesar dan
sehebat yang lam-pau. Dengan demikian sebenarnya perang Aceh belum padam dengan
penyerahan diri Sultan Aceh pada tahun 1903. Rakyat Aceh masih terus berjuang
menentang penjajah Belanda. Cut Meutia berobat pada dukun-dukun kampung hingga
sakitnya berangsur baik. Sementara itu Belanda terus mengadakan penge-jaran.
Rombongan Pang Nanggroe harus berkali-kali memin-dahkan Cut Meutia lebih ke
pedalaman lagi hingga bertemu dengan pejuang muslimin di bawah pimpinan Pang
Adit. Rom-bongan itu bermarkas di Bukit Masjid, sebab di sanalah Pang Adit
telah mendirikan mesjid yang menjadi markas perjuangan perang sabil dan
mengajarkan agama Islam dan menempa semangat jihad fi sabilillah. Di Bukit
Masjid itu Pang Nanggroe mulai giat mengumpulkan tenaga pejuang dan senjata
baik rencong, klewang, maupun senapan yang direbutnya dari patroli Belanda.
Kemudian ia dengan pasukannya serta Cut Meutia yang sudah mulai sembuh
penyakitnya berangkat ke Bukit Broek Ja.Puteranya, Teuku Raja Sabi, tidak
ketinggalan. Di sana mereka bertemu dengan pejuang muslimin yang lebih besar jumlahnya.
Bukit Broek Ja telah berobah menjadi kota kecil yang ramai dengan pejuang
muslimin. Di sanalah Pang Nanggroe menikah dengan Cut Meutia. Selanjutnya Cut
Meutia giat memimpin pasukan menentang Belanda.
Barisan
muslimin makin menjadi besar, terdiri dari pasukan Pang Nanggroe/Cut Meutia,
barisan Teungku di Barat, barisan Pang Amin dan pasukan Muda Kari. Pasukan Pang
Amin dan Muda Kari mengadakan penyerangan di bagian negeri Krueng Pasei dekat
Madan daerah Geudong. Mereka selalu memperoleh kemenangan dan berhasil merebut
senjata dari tangan musuh. Sementara itu Belanda lebih memperkuat pasukannya
dengan mendatangkan barisan marsose khusus di bawah pimpinan .Christoffel yang
terkenal kejam sekali. Pasukan Christoffel terus mendesak dan menekan barisan muslimin
sekeras-kerasnya. Oleh karena itu pasukan Teungku di Barat dan Teungku Mata Ie
mun-dur ke daerah Gayo, namun pasukan Pang Nanggroe tetap di garis depan.
Barisan marsose terus maju, membujuk-bujuk rakyat dan menghantamnya sekali.
Siapa saja yang ditemuinya di hutan, ten-tu dijadikan umpan pelurunya.
Pada
suatu hari pasukan muslimin sedang beristirahat di pon-dok dan berkumpul pria
dan wanita, tiba-tiba musuh menyerang. Kaum wanita dipimpin oleh Cut Meutia
mundur ke pedalaman, sedang Teuku Raja Sabi, puteranya, mengikuti Pang Nanggroe
yang tidak ikut mundur. Ia terus bertahan dengan maksud melin-dungi kaum wanita
jangan sampai menjadi perhatian dan serangan musuh. Pasukan marsose makin
dekat, namun Pang Nanggroe tidak beranjak dari tempatnya berjuang. Akhirnya
pada tanggal 26 September 1910, dari jarak yang amat dekat Pang Nanggroe
tertembak musuh, tepat pada dadanya. Sambil berlu-muran darah ia memanggil
Teuku Raja Sabi, putera Cik Tunong, dan berkata, "Ambillah rencong dan
ikat kepalaku. Larilah lekas kepada ibumu. Sampaikanlah salamku dan teruskanlah
per-juangan". Kemudian diketahui, bahwa jenazah Pang Nanggroe dimakamkan
di samping mesjid Losukon.
Sepeninggalan
Pang Nanggroe pimpinan pasukan diserahkan kepada Cut Meutia oleh anak buahnya
dan Cut Meutia tidak menolaknya. Waktu itu kekuatan pasukan tinggal 45 orang
dengan 13 pucuk senapan. Setelah bermufakat, mereka lalu berangkat ke Gayo
untuk menggabungkan diri dengan pasukan lain-lainnya. Di tengah jalan, di Paya
Beuranang, mereka bertemu dengan Teungku Seupot Mata dan lalu bersama
meneruskan per-jalanan ke Gayo yang sulit dan gawat. Di persimpangan Krueng
Peutoe, yaitu di Alue Kurieng, rombongan itu berhenti untuk menanak nasi. Di
sanalah dengan mendadak mereka diserang oleh pasukan Christoffel. Secepatnya
pasukan muslimin yang sudah amat kecil kekuatannya itu siap menghadapi lawan.
Pertempuran terjadi dengan sengit sekali. Pada pertempuran itulah Cut Meutia
tertembak kakinya dan terus terduduk di tanah. Cut Meutia tidak menyerah,
bahkan dengan pedang terhunus ia terus mengadakan perlawanan hingga ia terbunuh
oleh musuh. Tubuhnya terkulai di atas bumi tanah air yang ia cintai dan bela
sepanjang hayatnya.
Sebelum
gugur, Cut Meutia masih sempat berpesan kepada Teuku Syakh Buwah yang berada di
dekatnya. Katanya dengan pendek, "Selamatkanlah anakku, Raja Sabi. Aku
serahkan dia ke tanganmu". Dan amanat itu dapat dilaksanakan dengan baik
sehingga Teuku Raja Sabi putera Cik Tunong dan Cut Meutia selamat hingga dapat
mengalami kemerdekaan Indonesia, namun dalam tahun 1946 ia mati terbunuh dalam
apa yang disebut Revolusi sosial di Sumatera Utara.
Cik
Tunong, Pang Nanggroe dan Cut Meutia, ketiga-tiganya gugur sebagai kusumabangsa.
Pemerintah RI dengan SK Presiden No. 107/TK/Tahun 1973 tanggal 6 Nopember 1971
menganu-gerahi Cut Meutia gelar Pahlawan Nasional